Kamis, 18 Desember 2014

"Menggenggam Sejarah yang Rentan Punah" Kompas, Rabu, 17 Desember 2014

Enung Nurul Huda 
♦ Lahir: Tasikmalaya, 21 Juni 1947
♦ Pendidikan: 
- SD Leuwibudah Tasikmalaya (Lulus 1960)
- SMP Pesantren Tasikmalaya (Lulus 1963)
- SMA NU Bandung (Lulus (1966)

 DIA  dianggap sebagai pebatik motif sukapura tertua yang masih aktif berkarya. Namun, Enung Nurul Huda (67) masih bertahan menggenggam sejarah motif batik khas Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang rentan punah.

Minggu, 07 Desember 2014

"Dynand Fariz Menggali Tambang Kreativitas dari Jember" Kompas, Jumat, 28 November 2014

Dynand Fariz 
♦ Lahir: Jember, 23 Mei 1963
♦ Pendidikan:
- 1979-1984: Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya
- 1996-1999: Beasiswa  Program Combination di Sekolah Mode ESMOD, Jakarta
- 1999: Training Teacher di ESMOD Perancis
♦ Karier:
- 1985-sekarang: Dosen Program Tata Busana di Unesa, Surabaya
- 1999-sekarang: Pengajar  Pattern Drafting  ESMOD Jakarta 
- 2000-sekarang: Pendiri dan Presiden Jakarta Fashion Carnaval  
- 2006-sekarang: Anggota Indonesian Social Entrepreneur, Ashoka, Washington DC
♦ Prestasi:
- 1999: Best Costume & Unique Costume ESMOD St Chaterina Day
- 2007: Performing Art di Indonesian Reception Day, Mumbay, India
- 2008: Penghargaan Putra Terbaik Jember 
- 2011: Rancangan Dynand Fariz  meraih Best National Costume di Mr Universe Republik Dominika
- 2014: Rancangan Dynand Fariz meraih Best National Costume Miss International 2014 di Tokyo Jepang
Pakaian adat Lampung bertema ”Tale of Siger Crown” yang dirancangnya meraih Best National Costume Miss International 2014 di Tokyo, 11 November. Ini baru langkah awal Fariz meraih mimpi Indonesia menjadi pemimpin dunia melalui kreativitas seni.

Tak Sekadar Menempa Besi. Kompas, Jumat, 5 Desember 2014







IBNU PRATOMO
♦ Lahir: Jakarta, 18 Desember 1976
♦ Pendidikan terakhir: Master Seni Bidang Seni Rupa Murni FSRD ITB
♦ Organisasi: Pijar Komunitas Menempa Bandung (sebagai perintis)


Ibnu Pratomo (38) merupakan sosok yang mendirikan Pijar Komunitas Menempa Bandung. Komunitas ini berdiri tahun 2012 dan beranggotakan aktif sebanyak 15 orang. Ibnu menganggap bahwa proses menempa logam tak ubahnya seniman yang sedang berkarya. Untuk menularkan misinya, Ibnu pun mengumpulkan orang-orang yang merasa punya panggilan yang sama. Salah satunya Fernando Adelnihansyah (20). Ia terpanggil untuk mempertahankan seni tradisi. Ia pun mengajak anak muda untuk menggali kembali pekerjaan yang dianggap hampir punah ini.

Fernando bersama kawan-kawannya dari Pijar Komunitas Menempa Bandung menggelar pelatihan menempa besi di sudut arena Pasar Seni ITB (Institut Teknologi Bandung), Minggu (23/11). 

Di acara itu, pengunjung Pasar Seni ITB, yang sebagian besar anak muda diajarkan melihat proses pembentukan batang besi menjadi pisau, kujang, ataupun keris. Ada juga peragaan peleburan besi. Pengunjung bisa merasakan langsung beratnya mengangkat martil berbobot 6 kg itu dan menghantamkannya ke lempengan besi panas.

Fernando aktif di Pijar Komunitas Menempa Bandung memang untuk berbagi keahlian. Mereka beberapa kali keliling ke sejumlah komunitas dan kampus untuk membagikan ilmu menempa besi. Ketertarikannya pada aktivitas menempa besi dimaknai Fernando tak hanya sekadar membentuk besi menjadi pisau, tetapi juga ikut membentuk kepribadiannya menjadi setajam pisau.
  
Pandai Besi
Ibnu mulai tertarik pada kegiatan menempa logam saat kuliah S-1 di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Alasannya mungkin terbilang klise. Ia hendak memanjangkan umur profesi pandai besi yang tak terpisahkan dari kebudayaan Nusantara di masa lampau. Minat itu semakin terasah tajam ketika ia memutuskan mengambil jenjang S-2 di fakultas yang sama. Sembari meneliti, Ibnu menimba ilmu dari banyak budayawan, terlebih pada ”empu” Basuki, pengajar sekaligus pembuat keris dari Kampus Institut Seni Indonesia Solo. Selama 6 tahun Ibnu menempa keahliannya kepada sang empu. Di saat bersamaan, Ibnu mengamati teman kuliah yang juga adik kelasnya dan sekalian ia mencari orang-orang yang memiliki minat sama.

Pada 2004, segelintir mahasiswa ITB yang berminat pada aktivitas menempa logam, termasuk Ibnu, membuat Kelompok Tangan Hitam.Kelompok itu rupanya menarik minat beberapa mahasiswa ITB lain sehingga bertambah ramai. Setelah bergelar master seni murni, Ibnu membentuk Unit Mahasiswa Pijar ITB. Itulah wadah resmi penempa besi di kampus itu, sebuah unit kegiatan mahasiswa yang nyaris tidak dimiliki kampus lain.

Ibnu merasa bahwa kegiatan menempa besi itu harus disebarkan. Ia ingin kegiatan menempa besi ini tak hanya di Kampus ITB saja. Maka, ia membentuk Pijar Komunitas Menempa Bandung yang beranggota anak muda dari berbagai kampus. Sesuai nama komunitasnya, Ibnu berkeinginan kelompok mereka itu bisa melanjutkan tradisi bangsa.

Lewat komunitas ini, Ibnu dan kawan-kawan membagikan ilmu menempa besi dengan menggelar pelatihan di kampus-kampus dan beberapa kali di pusat perbelanjaan. Mereka juga mulai menerima kunjungan wisata studi beberapa sekolah ke markas mereka di Jalan Salatiga, Antapani, Bandung.

 Ilmu Siliwangi
Tak hanya teknik menempa besi yang mereka bagikan. Kelompok itu juga sering berdiskusi mengenai aspek sejarah pusaka dari logam. Mereka juga menguliti filosofi pusaka dan nilai yang bisa diperoleh dari menempa besi. Hanya, mereka tidak membagikan aspek mistik pusaka. Jadi, jangan meminta ’isi’ keris kepada mereka.

Ia mengambil contoh pusaka kujang, senjata tajam yang dipercaya sebagai senjata andalan Prabu Siliwangi. Menurut Ibnu, nama Siliwangi merupakan gabungan dari kata silih dan wangi. Ia kemudian menjabarkan bahwa silih dan wangi itu merupakan sintesis dari tiga aspek. Ada silih asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiga hal itu merupakan perilaku luhur yang seharusnya dipegang manusia. Jika ketiganya tercapai, terbentuklah silih wangi. Jadi, pusaka itu ibarat kitab suci yang mengandung pedoman perilaku ideal manusia.

Penyebaran nilai pusaka, menurut rencana, akan semakin digencarkan lagi. Komunitas itu bersiap membuka galeri sekaligus bengkel kerja di daerah Babakan Siliwangi, hutan rimbun di pusat keramaian Kota Bandung. Di tempat itu juga, mereka berencana menjual produk pusaka karya mereka di bawah merek Saltig. Jika bermarkas di pusat keramaian kota, mungkin akan semakin banyak orang datang dan semakin mudah berjejaring. Harapannya, nilai luhur budaya bangsa bisa diteruskan kepada generasi berikutnya.